Guna mendukung Program
Pembangunan Nasional yang tercantum dalam
Undang-Undang No. 25 Tahun 2000, khususnya prioritas untuk
mempercepat pemulihan ekonomi serta memperkuat landasan pembangunan
berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan pada Sistem Ekonomi Kerakyatan,
dilakukan melalui pembangunan di bidang ekonomi serta pembangunan di bidang
sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Arah kebijakan pembangunan
bidang ekonomi sesuai dengan GBHN 1999 – 2004 adalah mempercepat pemulihan
ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan. Tujuan pembangunan tersebut dicapai dengan lebih
memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui
pengembangan Sistem Ekonomi Kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang
berkeadilan serta berbasis sumber daya alam, serta sumberdaya manusia yang
produktif dan mandiri.
Adapun sasaran pembangunan
di bidang ekonomi adalah mempercepat proses pemulihan ekonomi, antara lain
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara bertahap mencapai
sekitar 6 - 7 persen, dan laju inflasi terkendali sekitar 3 – 5 persen,
menurunnya tingkat pengangguran menjadi sekitar 5,1 persen dan menurunnya
jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Sasaran
selanjutnya adalah makin kukuhnya ketahanan ekonomi nasional yang ditunjukkan
oleh meningkatnya daya saing dan efisiensi perekonomian, terciptanya struktur perekonomian
yang kuat berlandaskan keunggulan kompetitif, serta meningkatnya dan lebih
meratanya ketersediaan sarana dan prasarana pembangunan.
Untuk mewujudkan tujuan dan
sasaran pembangunan tersebut, akan dilaksanakan pembangunan di bidang ekonomi
yang secara terpadu dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok program percepatan
pemulihan ekonomi dan penciptaan landasan ekonomi berkelanjutan. Salah satu dari ketujuh program tersebut adalah dengan
mengembangkan usaha skala mikro, kecil, dan menengah sebagai tulang punggung
ekonomi kerakyatan dan memperluas partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
UMKM adalah singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
UMKM diatur berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah. Berikut kutipan dari isi UU 20/2008.
Ø Pengertian UMKM
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif
milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria
Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau
badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Ø
Kriteria UMKM
No.
|
URAIAN
|
KRITERIA
|
||
ASSET
|
OMZET
|
TENAGA KERJA
|
||
1
|
USAHA
MIKRO
|
Maks. 50 Juta
|
Maks. 300 Juta
|
> 4 orang
|
2
|
USAHA
KECIL
|
> 50 Juta – 500 Juta
|
> 300 Juta – 2,5 Miliar
|
5 – 19 orang
|
3
|
USAHA
MENENGAH
|
> 500 Juta – 10 Miliar
|
> 2,5 Miliar – 50 Milia
|
20 – 99 orang
|
Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang
UMKM, UMKM tersebut berasaskan pada asas kekeluargaan, demokrasi ekonomi,
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Oleh karena
itu, UMKM yang ada di Indonesia harus berasaskan pada hal-hal tersebut. Hal ini
dikarenakan jika UMKM yang ada mematuhi asas-asas tersebut maka untuk
keberlangsungan UMKM akan semakin baik dari hari ke hari, dan bukan suatu
kemustahilan bahwa jika hal tersebut diterapkan dengan benar maka UMKM yang ada
akan semakin berkembang menuju ke usaha yang besar, yaitu usaha ekonomi
produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau
hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha
nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang
melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2008, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah bertujuan
menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam rangka membangun perekonomian
nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Berdasarkan tujuan
tersebut, UMKM haruslah menjadi suatu sektor usaha yang dapat menumbuhkan dan
mengembangkan usaha yang ada di masyarakat. UMKM tidak boleh dianggap remeh
hanya sebagai suatu industri yang “ecek-ecek.”
Menurut data yang ada pada jurnal berjudul “ANALISIS IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN USAHA EKONOMI MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) “(Identifikasi Evaluasi
Permasalahan, Kebutuhan, Potensi dan Pembinaan Pengembangan Usaha Ekonomi Mikro
Kecil dan Menengah di Kota Malang)”, UMKM di Provinsi Jawa Timur menyumbangkan pendapatan
terbesar. Hal ini seharusnya kita sambut sebagai suatu ciri positif dari
perkembangan sektor UMKM di Indonesia.
Pemberdayaan usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi merupakan langkah yang strategis dalam
meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar
rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi
kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Dengan demikian upaya untuk memberdayakan
UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro, meso
dan mikro yang meliputi:
1.
Penciptaan iklim usaha
dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian
usaha disertai adanya efisiensi ekonomi
2.
Pengembangan sistem
pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif
sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya,
terutama sumber daya lokal yang tersedia
3.
Pengembangan kewirausahaan
dan keunggulan kompetitif usaha kecil
dan menengah (UKM)
4.
Pemberdayaan usaha skala
mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha
ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih
berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk
berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi
kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap Proses Pemulihan
Perekonomian Nasional sehingga perlu lebih diperhatikan karena mengemban misi
menciptakan pemerataan kesempatan kerja dan berusaha, melestarikan budaya, dan
mendukung ekspor nasional.
Terdapat dua prioritas
dalam pengembangan Usaha SkalaMikro,
Kecil dan Menengah (UMKM)
sebagai tulang punggung Ekonomi Kerakyatan dan memperluas partisipasi
masyarakat dalam pembangunan yaitu Prioritas Jangka Pendek diberikan untuk
mempercepat peningkatan skala Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah serta meningkatkan aksesnya pada
permodalan, Prioritas Jangka Menengah diarahkan untuk meningkatkan akses Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada
sumber daya produktif dan mengembangkan kewirausahaan.
Dari data yang diketahui
bahwa Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM)
pada umumnya tersebar di sentra-sentra maupun di luar sentra yang diusahakan
secara turun temurun dan proses terbentuknya merupakan bagian dari kultur
masyarakat setempat. Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah yang berkembang mampu berperan sebagai inti dan sekaligus sebagai
penggerak pertumbuhan ekonomi desa/kelurahan sehingga secara alamiah terjadi
proses transformasi budaya dari masyarakat tradisional menuju masyarakat yang
maju dan modern. Lebih jauh akan memberikan dampak yang besar pada peningkatan
pendapatan masyarakat.
Selama ini, kualitas sumber daya manusia yang
bekerja di usaha mikro, kecil dan menengah pada umumnya masih sangat rendah.
Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya kualitas produk, terbatasnya
kemampuan untuk mengembangkan produk-produk baru, lambannya penerapan
teknologi, dan lembahnya pengelolaan usaha. Padahal, ada beberapa faktor yang
menentukan keberhasilan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
diantaranya adalah faktor Sumber Daya Manusia (SDM), Permodalan, Mesin dan
Peralatan, Pengelolaan Usaha, Pemasaran, Ketersediaan Bahan Baku. dan Informasi
agar bisa melakukan akses global.
Ditinjau dari pola pembinaan dan pengembangan yang
diterapkan selama ini dengan model pembinaan yang cenderung seragam, berupa
paket pembinaan dari pusat belum tentu sesuai dengan kebutuhan kondisi sosial
budaya yang berkembang di lingkungan tempat Usaha Kecil dan Menengah itu
berada. Hal ini disebabkan kondisi dan potensi masing-masing daerah berbeda.
Kinerja nyata yang dihadapi
oleh sebagian besar usaha terutama mikro, kecil dan menengah (UMKM) di
Indonesia yang paling menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas,
rendahnya nilai tambah, dan rendahnya kualitas produk. Walau diakui pula bahwa
UMKM menjadi lapangan kerja bagi sebagian besar pekerja di Indonesia, tetapi
kontribusi dalam output nasional di kategorikan masih rendah. Hal ini
dikarenakan UMKM, khususnya usaha mikro dan sektor pertanian (yang banyak
menyerap tenaga kerja), mempunyai produktivitas yang sangat rendah. Bila upah
dijadikan produktivitas, upah rata-rata diusaha mikro dan kecil umumnya berada
dibawah upah minimum. Kondisi ini merefleksikan produktivitas sektor mikro dan
kecil yang rendah bila dibandingkan dengan usaha yang lebih besar.
UMKM yang merupakan
pelaku ekonomi mayoritas di sektor pertanian dan perdesaan adalah salah satu
komponen dalam sistem pembangunan pertanian dan perdesaan. Oleh karena itu,
kebijakan pemberdayaan UMKM di sektor pertanian dan perdesaan harus sejalan
dengan dan mendukung kebijakan pembangunan pertanian dan perdesaan. Untuk itu,
UMKM di perdesaan diberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya dan dijamin
kepastian usahanya dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi, serta
diperluas aksesnya kepada sumberdaya produktif agar mampu memanfaatkan
kesempatan usaha dan potensi sumberdaya lokal yang tersedia untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi usaha agribisnis serta mengembangkan ragam produk
unggulannya. Upaya ini didukung dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan
kualitas layanan lembaga keuangan lokal menjadi alternatif sumber pembiayaan bagi sektor pertanian dan perdesaan.
Di samping itu, agar lembaga pembiayaan untuk sektor pertanian dan
perdesaan menjadi lebih kuat dan tangguh, jaringan antar LKM dan antara LKM dan
Bank juga perlu dikembangkan.
Diantara berbagai faktor
penyebabnya, rendahnya tingkat penguasaan teknologi dan kemampuan wirausaha di
kalangan UMKM menjadi isu yang mengemuka saat ini. Pengembangan UMKM secara
parsial selama ini tidak banyak memberikan hasil yang maksimal terhadap
peningkatan kinerja UMKM, perkembangan ekonomi secara lebih luas mengakibatkan
tingkat daya saing kita tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga
kita sepertimisalnya Malaysia. Karena itu kebijakan bagi UMKM bukan karena
ukurannya yang kecil, tetapi karena produktivitasnya yang rendah. Peningkatan
produktivitas pada UMKM, akan berdampak luas pada perbaikan kesejahteraan
rakyat karena UMKM adalah tempat dimana banyak orang menggantungkan sumber kehidupannya.
Salah satu alternatif dalam meningkatkan produktivitas UMKM adalah dengan
melakukan modernisasi sistem usaha dan perangkat kebijakannya yang sistematik
sehingga akan memberikan dampak yang lebih luas lagi dalam meningkatkan daya
saing daerah.
Perkembangan UMKM yang
meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya
peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya
produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM
yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan
teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan
terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar,
serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang dihadapi oleh
UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang
mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut
perolehan legalitas formal yang hingga saat ini masih merupakan persoalan
mendasar bagi UMKM di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus
dikeluarkan dalam pengurusan perizinan. Sementara itu, kurangnya pemahaman
tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan
(struktur organisasi, struktur kekuasaan, dan struktur insentif) yang unik/khas
dibandingkan badan usaha lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi
tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best practices) telah
menyebabkan rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi. Bersamaan dengan
masalah tersebut, koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang
ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi
perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan teknologi.
UMKM Indonesia jika terus
menerus dirawat dan dikembangkan dengan baik akan berdampak baik pula bagi
Indonesia. Berdasarkan data yang ada pada situs internet inilah.com, sektor
industri UMKM Indonesia dinilai kebal terhadap krisis. Karena itu, pada tahun
2025, sektor ini diprediksi dapat berkontribusi 54% terhadap produk domestik
bruto (PDB) Indonesia.
Menurut Rhesa Yogaswara, konsultan senior dari
Srategic Business of QASA Consulting- mengatakan,
banyak pakar berpendapat bahwa krisis global hanya bisa diatasi dengan
mengembangkan sektor riil, terutama dari sektor Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM). Para penggagas
ekonomi syariah pun mengatakan hal yang sama, dimaka konsep bagi hasil akan
membantu pertumbuhan sektor rill, yang secara jangka panjang akan meningkatkan
stabilitas ekonomi negara.
Dalam
beberapa tahun terakhir, memang terindikasi bahwa sektor industri UMKM
Indonesia “terbebas” dari krisis. Apakah makna kata “terbebas” dari krisis ini
berlaku secara mutlak? Jawabannya mungkin belum. Hanya saja memang
faktor-faktor penyebab krisis ekonomi dalam beberapa tahun terakhir tidak
bersinggungan secara langsung dengan UMKM.
Paling tida ada tiga alasan utama
mengapa UMKM bisa terbebas dari krisis. Pertama,adalah minimnya ketergantungan
sektor UMKM terhadap sektor perbankan. Hal ini dapat dikatakan bahwa sektor
perbankan yang besar dominasinya pada perusahaan korporasi berskala besar,
tidak memberikan dampak apapun terhadap sektor UMKM. Yang kedua, karena UMKM
memiliki tingkat penetrasi pasar eksport yang terbilang rendah, sehingga menguntungkan
sektor UMKM itu sendiri. Menurut data dari Kementrian Perindustrian, nilai
pasar export sektor UMKM hanya berkontribusi sebesar 30% dari pada total nilai
produksi lokal. Selebihnya, UMKM dipasarkan secara domestik. Karena itu, melemahnya
permintaan dari pasar ekspor,
tidak berdampak secara signifikan bagi sektor UMKM di Indonesia. Yang terakhir adalah
barang jadi yang dihasilkan oleh sektor UMKM adalah barang-barang komoditas dan
barang kebutuhan primer. Sehingga, turunnya daya beli masyarakat akibat krisis
global tidak berdampak pada permintaan masyarakat terhadap barang jadi dari
sektor UMKM ini.
Perkiraan
kedepan, pertumbuhan UMKM masih akan digenjot untuk tumbuh dengan
tetap fokus pada pasar domsetik ketimbang membidik pasar internasional. Kondisi
ini mendapat dukungan dari pemerintah melalui program “One Village One Product” (OVOP). Melalui program ini,
satu desa diharapkan mampu membuat satu produk kelas global yang terbaik,
sesuai dengan kompetensi desa tersebut. Selain itu, produk tersebut mengandung
unsur orisinalitas lokal, dengan menggunakan sumber daya setempat.
Karena itu pada tahun 2025 diharapkan sektor UMKM bisa
menggerakkan ekonomi Indonesia dengan kontribusi sektor terhadap PDB adalah
sebesar 54%. Hal tersebut bisa
dicapai dengan rata-rata pertumbuhan nilai produksi UMKM per tahun setidaknya
sebesar 10%. Dengan pertumbuhan nilai
produksi UMKM sebesar 10% per tahun, setidaknya hal ini akan berdampak sangat
besar bagi keberlangsungan dunia perekonomian Indonesia.
Selain
itu, Kementerian
Koperasi dan UKM mengimbau perusahaan-perusahaan untuk mengalokasikan dana Corporate Social Responsibility (CSR)
untuk percepatan pemberdayaan pelaku UMKM. Pemerintah mengimbau agar
perusahaan-perusahaan mengalokasikan dana CSR-nya secara konkret dalam program
percepatan pemberdayaan UMKM. Salah satu persoalan yang menghambat perkembangan UMKM adalah
lemahnya jaringan pemasaran. Oleh karena itu, Pemerintah menyarankan agar dana CSR secara
konkret dialokasikan dalam program-program pendampingan khususnya untuk
perluasan pasar UMKM.
Issue publik yang sedang hangat saat ini adalah diperlukan
upaya konkrit untuk mencari solusi bagaimana mengaplikasikan CSR dalam konteks
percepatan pemberdayaan UMKM. Apalagi, UMKM juga menghadapi banyak kendala selain masih lemahnya
jaringan pemasaran yang dimiliki meliputi aspek permodalan, pemasaran,
keterampilan SDM, maupun kemitraan. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa sudah ada sejumlah
perusahaan yang memiliki program CSR untuk pemberdayaan UMKM. Tapi jumlah UMKM di Indonesia
sangat banyak dan terus bertambah sehingga perlu program yang kontinyu. Pemerintah berharap program tersebut dapat
terus direplikasikan dan dikembangkan agar semakin banyak UMKM terberdayakan
dan naik kelas menjadi pelaku bisnis yang lebih stabil.